AKHLAQ |
Identifikasi istilah “Akhlak” dan Posisinya dalam Struktur Ajaran Islam Demikian, muatan istilah “akhlak” pada hakikatnya di selingkar pandangan, sifat, sikap dan tingkah laku yang seharusnya disadari dan dihayati dalam kehidupan nyata sehari-hari sesuai dengan kondisi kelemahannya (kedla’īfannya). Oleh karena itu, kalau ada orang yang tidak bersedia menyadari dan menghayati muatan “akhlak”, sama artinya orang yang bersangkutan “mengingkari kondisi ke- makhlūq-an” yang sebenarnya serba lemah itui. Oleh karena itu pula ber-akhlāq (dalam ejaan indonesianya “berakhlak”) bagi manusia selaku makhlūq merupakan sebuah keniscayaan. Istilah “akhlaq” (asli Arabnya “akhlāq”) tidak dapat dilepaskan dari kata Arab, ”khalaqa” (menciptakan), “makhlūqun” (yang diciptakan) dan “khāliqun” (yang menciptakan). Dalam konteks kebahasan Al-Qur'an, kata “khalaqa” menunjuk pengertian : menciptakan dari tiada ke ada (ceatio ex nihilo). Karena itu, “khāliqun” menunjuk kepada zat Yang Serba Kuat, dan sebaliknya, “makhlūqun” menunjuk kepada konsep segala sesuatu yang serba lemah (dla’īf). Dapat dikatakan bahwa istilah “akhlak” adalah unik dan sukar dicari tandingannya. Namun sayangnya, istilah ini masih kurang dipopulerkan oleh umat Islam sendiri. Dalam konteks struktur ajaran Islam, dalam arti setelah ajaran Islam “disistematisasikan, akhlak merupakan salah satu disiplin ilmu tersendiri. Sementara itu ada yang memasukkannya dalam sub-disiplin ilmu yang lain. Namun yang pasti, dunia akhlak adalah dunia “penghayatan keberagamaan” dan sekaligus dunia “ekspresi fungsional” dari penghayatan keberagamaan tersebutii. Yang ideal, akhlak sebagai disiplin ilmu dan sebagai wujud konkrit pengalaman perlu diusahakan berjalan saling mendukung dan memperkokoh. Allah SWT, Kekhalifahan Manusia dan Posisi Al-Qur'an dalam Konteks Kekhalifahan ituSecara global, Allah SWT dapat dipahami manusia dari pendekatan uluhiyah dan rububiyah. Dalam pendekatan uluhiyah lebih terfokus pada realitas Allah SWT yang bersifat statis, iii sedangkan dalam pendekatan rububiyah lebih dititik-beratkan pada pemahaman terhadap Allah SWT yang bersifat dinamik. Dalam konteks pembahasan tentang akhlak, pendekatan rububiyah ini diwujudkan dalam bentuk: (1) menghadirkan Allah SWT dalam seluruh potensi kehidupan rohani maupun jasmani; dan (2) menjabarkan secara fungsional sifat Allah SWT dalam kehidupan nyata (baca: membumikan sifat Allah SWT dalam kehidupan). Sementara itu, status (kedudukan) manusia ketika hidup di dunia adalah sebagai “abdun” (hamba), dalam arti: mengakui secara sadar sifat kehambaanya di hadapan Allah SWT. (Q.S. Adz-Dzariayat, 51: 56). Sedangkan role (peranan) manusia dalam hidup di dunia ini adalah sebagai “khalifah fi al-ardl” (wakil Allah SWT di planet bumi) (Q.S.Al-Baqarah, 2: 30), dalam arti: siapa berusaha untuk memakmurkan kehidupan di planet bumi. (Q.S. Huud, 11: 61). Status manusia yang tegambar di atas menunjukkan perlunya sikap rendah hati (tawadlu) di hadapan Allah SWT dan keniscayaan berkonsultasi kepada Allah SWT. oleh karena itu “kehadiran Allah SWT” dalam setiap detik kehidupan harus diusahakan. Selanjutnya, role (peranan) manusia di atas menunjukkan perlunya ketetapan pemberlakuan kewenangan sebagai wakil Allah SWT. Karena Allah SWT itu ghaib, maka Kalam-Nya (Ucapan-Nya) didengar lewat indera telinga yang da’īf ini, maka Kalam-Nya yang telah terwujud menjadi kitab suci Al-Qur'an yang menjadi acuan ketika manusia melaksanakan peranan kekhalifahannya. Manusia yang melaksanakan status dan role (peranan) berdasar Al-Qur'an di atas adalah yang pantas disebut “manusia ber-akhlaq” (manusia berakhlak). Al-Qur'an berisi formula akhaq (sifat-sifat yang sesuai dengan ketercipataan) manusia secara universal. Hubungan ketiga titik nilai di atas, yang ideal, bagaikan hubungan tiga titik dalam sebuah segi tiga sama sisi. Dalam prakteknya memang ada perbedaan kofiguratif dari ketiga titik nilai tersebut. Barangkali yang tidak positif adalah manakala terjadi proses-proses atomisasi ketiga nilai tersebut.viiiFenomena “Nilai” Dalam Konteks Kesadaran Berakhlak Secara Fungsional “Nilai” yang dikenal popular oleh manusia paling tidak ada 3 (tiga), yaitu : (1) benar versus salah (dalam bidang falsafah dibahas dalam epistemologi); (2) baik versus buruk (dalam bidang falsafah dibahas dalam etika); dan (3) indah versus jeles (dalam bidang falsafah dibahas dalam estetika). Nuansa Al-Qur'an meliputi tiga nilai tersebut. Dari konteks nilai-nilai ini, ideal atau tidak akhlak seseorang adalah berbanding lurus dengan ideal-kurangnya bentuk konfigurasi titik nilai di atas. Potensi Alamiah Yang dapat Digunakan Agar Mampu Menghayati Dan Mengekspresikan Hidup Berakhlak Secara Fungsional Rasa kepantasan memang sangat fenomenal. Rasa itu jelas ada dan penolakan atas dasar apapun juga akan gugur dengan sendirinya, kalau benar-benar jujur lahir-batin. Pada hakekatnya, rasa kepantasan itu merupakan hasil-langsung dari fungsionalnya nilai benar-baik-indah yang bekerja pada diri seseorang, namun konfigurasi nilai yang terbentuk segi tiga sama sisi. Sebab, bagaimanapun juga rasa kepantasan adalah sesuatu yang dianggap ideal (luhur).Potensi pertama, dapat membedakan mana yang pantas dan yang tidak pantas. Potensi ini perlu diubah menjadi energi yang berujung kesanggupan dan kesediaan untuk mengekspresikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Potensi pertama ini cenderung tetap hanya menjadi potensi tersebut begitu kuat limbah eksternal yang secara intensif melumuri pontensi tersebut. Potensi kedua, manusia dapat dilatih untuk menjadi kebiasaan. Ketika manusia lahir, ada beberapa kenyataan yang melingkupinya, yaitu: (1) belum/tidak tahu (Q.S. An-Nahl, 16: 78);xi belum/tidak kuat (fisik dan inklusif psikisnya) (Q.S. Ar-Rum, 30: 54).xii Kenyataan pula menunjukkan, setelah dilatih ternyata manusia menjadi mampu menjadi tahu (bahkan sangat kaya pengetahuan) dan menjadi kuat, baik fisik maupun psikisnya. Pontensi sanggup dilatih ini sering tidak mulus menjadi energi, apalagi berupa kesanggupan mengekspresikan siap secara teknis untuk dilatih tersebut. Sebabnya adalah karena ada ekspresi kontrasnya yang lebih kuat, misalnya: kecenderungan menunda dan rasa malas. Cara Teknis Umum Agar Berhasil Mengekspresikan Akhlak Secara Fungsional Kedua, rincian indikator yang telah di eksplisitkan itu lalu diuji berdasar tolak kepantasan berdasar pengujian nilai “benar-baik-indah”. Jika setiap butir indikator menunjukkan kepastian bernilai “benar-baik-indah”, maka rincian indikator itu dapat dijadikan patokan. Pertama, perlu dirinci indikator konsep akhlak tertentu secara lebih eksplisit, kalau perlu sampai seolah-olah sampai dapat diukur (sekalipun secara kuantitatif modelnya). Misalnya konsep akhlak yang disebut “jujur” (amanah). Jujur atau kejujuran yang fungsional indikatornya antara lain: (1) kalau berbicara kepada siapa saja senantiasa cocok antara informasi/pernyataannya dengan fakta informasi/pernyataan itu; (2) kalau berjanji kepada siapa saja senantiasa ditepati persis seperti isi janjinya; (3) kalau diberi kepercayaan apa saja (entah berupa pekerjaan atau tugas) senantiasa dikerjakan sesuai dengan format kepercayaan yang harus dirampungkan itu; dan (4) konsisten mengatakan hal yang “benar” sesuai fakta, data dan bukti walaupun di tengah-tangah ancaman hidup-atau-mati, dan konsisten mengatakan hal “salah” kalau fakta, data dan bukti memang menunjukkan sesuatu itu memang salah walaupun di tengah-tengah ancaman hidup-atau-mati. Ketiga, setiap butir indikator yang telah teruji tersebut lalu dilatihkan agar nanti menjadi kebiasaan. Mula-mula mamang terasa “pahit” (karena kuatnya dorongan “menunda” dan “malas” yang menguasai batin), namun dilakukan perulangan secara teratur dan intensif, kepahitan akan berangsur-angsur hilang dan yang tersisa adalah: kebiasaan baru (seperti isi muatan apa yang dilatihkan). Keempat, dibuat faktor eksternal yang kondusif untuk menopang kebiasaan baru tersebut, misalnya berupa: (1) koridor pergaulan berupa kelompok yang sepandangan;xv (2) koridor pranata sosial seperti kelompok pengajian; (3) koridor lembaga sosial seperti pernikahan seagama, lembaga keagamaan (pesantren); dan (4) pranata sosial normatif seperti fatwa ulama. Ini hasil pemikiran ulama di atas pada hakekatnya merupakan data kesejarahan bagaimana umat yang iman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah bergulat dengan kedua sumber otentik tersebut. Karena itu layak juga dipertimbangkan. Sumber Konsep Normatif Akhlak dan Masalah Penyusunan Klaster Konsep-Konsep Itu Sumber konsep normatif akhlak jelas Al-Qur'an. Kitab ini merupakan ensiklopedi konsep normatif umum. Untuk memperjelas, memperluas dan menjabarkannya, baik secara konseptual maupun praktis, sumber kedua dipakai yaitu As-Sunnah yang sahih. Dalam bahasa teknisnya: meneladani. Pemikiran ulama, selama masih bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan langsung atau tidak langsung terhadap kedua sumber tersebut, dapat saja dipakai untuk memperluas, memperdalam, memperjelas dan memperlancar pengembangan konseptual tentang akhlak dan pengamalannya secara fungsional. Sementara itu, untuk menyusun klaster dari konsep-konsep normatif akhlak yang begitu banyak termuat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih tersebut, sebenarnya tidak ada patokan yang baku. Namun sebagai ancar-ancar, penyusunan klaster tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor : (1) penguasaan makna yang tersurat dan tersirat dari kedua sumber (Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih); (2) keluasan wawasan penyusunan klaster. Untuk memberikan ilustrasi konkrit tentang peluang luas untuk menentukan sendiri model-model klaster dari konsep-konsep normatif akhlak tersebut, di sini diberikan dua buah buku, yaitu: Barmawie Umary, 1998, Materi Akhlak. Cetakan ketujuh. Solo: CV. Ramadhani./186 halaman Yunahar Ilyas, H., 2002, Kuliah Akhlaq. Cetakan kelima. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI). /263 halaman. Secara garis besar penyusunan klaster dalam buk-buku tersebut sebagai berikut. Dalam buku Materi Akhlak konsep-konsep normatif akhlak diklaster menjadi : (1) al-akhlāqul mahmūdah; (2) al-akhlāqul madzmūmah; (3) mahabbah; (4) adab-adab. xvii Selajutnya dalam buku Kuliah Akhlak konsep-konsep normatif akhlak diklaster menjadi : (1) akhlak terhadap Allah SWT; (2) akhlak terhadap Rasulullah SAW; (3) akhlak dalam keluarga; (5) akhlak bermasyarakat; dan (6) akhlak bernegara. Sebuah Otokritik: Apa Benar Seharusnya Yang Perlu Dilakukan Pada Masa Datang Pertanyaan dan masalah-masalah di atas lebih positif kalau dijawab dengan hal-hal berikut:Sudah sering terdengar bahwa masih ada kesenjangan besar antara ketinggian konsep akhlak dengan bukti pengamalannya di seluruh level masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Kesan semacam itu didasarkan bukti dalam kehidupan sehari-hari berupa: masih banyaknya kehidupan maksiat (berjudi, minum minuman keras, pelacuran, pencurian / pengutilan / penodongan / perampokan / perampasan / pembegalan / pembajakan / plagiasi, narkotika / madat, pembunuhan / kekerasan / penganiayaan / kanibalism / pemerkosaan / terorisme / penindasan / invasi), tidak tegaknya hukum dengan seadil-adilnya, kolusi, korupsi, nepotisme, kapitalisme yang menyebabkan kecemburuan sosial, tidak tanggap-sosial, moralitas kalah dengan uang dan sebagainya. Hal kedua yang sering terdengar adalah: Mengapa Indonesia yang mayoritas muslim ini belum berhasil mencerminkan keislamannya yang luhur? 1. Kini sudah saatnya merumuskan secara rinci dan operasional sampai tingkat teknis tentang konsep-konsep normatif akhlak, dibantu ilmu-ilmu lain. 2. Banjiri bacaan berakhlak (dengan harga murah) dan diadakan pengkajian dan praktek-praktek keagamaan, serta terbuka untuk saling mengkritik yang membangun. |
Sabtu, 09 April 2011
AKHLAQ
Diposting oleh
Wis_Singkep Barat
di
22.07
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
AKHLAQ
0 komentar:
Posting Komentar