PENDAHULUAN
Para ahli sejarah sepakat bahwa masuknya islam ke Indonesia dimulai pada abad ke-7 Masehi, dan yang membawa agama islam itu sendiri adalah para pedagang dari Gujarat dan dan para mubaligh/da'i dari Arab sejalan dengan lajunya penyiaran Islam yang sudah mencapai daerah Asia seperti Tiongkok, India, Persi, dan Malabar. Daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam Adalah Aceh, Sumatera Barat, dan jawa tengah.
Setelah posisi Islam cukup kuat terutama di kalangan para pedgang dan orang-orang pedalaman maupun pesisirnya, maka kaum Muslimin mempunyai tempat yang terhormat dan dakwah Islam punbertambah pesat. Kemudian berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti di Aceh, Cirebon, Banjar, Maluku, dan lainnya. Untuk mempercepat dan memudahkan proses Islamisasi di Indonesia para mubaligh menempuh saluran dan jalur dakwah diantaranya dengan mendirikan pondok pesantren yang menggembleng kader-kader sebagai generasi penerus dan penyebar islam di daerahnya masing-masing.
Setelah posisi Islam cukup kuat terutama di kalangan para pedgang dan orang-orang pedalaman maupun pesisirnya, maka kaum Muslimin mempunyai tempat yang terhormat dan dakwah Islam punbertambah pesat. Kemudian berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti di Aceh, Cirebon, Banjar, Maluku, dan lainnya. Untuk mempercepat dan memudahkan proses Islamisasi di Indonesia para mubaligh menempuh saluran dan jalur dakwah diantaranya dengan mendirikan pondok pesantren yang menggembleng kader-kader sebagai generasi penerus dan penyebar islam di daerahnya masing-masing.
PEMBAHASAN
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur'an dengan tajwidnya dan tafsirnya, aqidah dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih, hadis dengan mushtholah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma'ani, badi', tarikh, dan manthiq. Kitab yang di kaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang di tulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai abad ke-15 atau lazim disebut kitab kuning.
Ciri khas yang tetap dilestarikan di pesantren adalah materi pelajaran dan metodenya, yang cenderung merujuk pada kitab-kitab klsasik atau seperti yang yelah disebutkan di atas sebagai kitab kuning. Demikian juga motivasi belajar para santri yang lebih kepada tafaquh fiddin. Dalam sistem pengajarannya tidak disisipkan sama sekali pelajaran umum atau tidak keluar dari jalur madzhab tertentu. Para santri biasanya mengkaji kitab secara kontinu, dari awal sampai tamat, dibawah bimbingan ustadz atau kyai. Bahkan metodenya sangat monoton, dengan fassilitas yang sangat sederhana. Begitu pula aktifitas spiritual atau sufistiknya masih menonjol. Tidak ada inovasi yang fenomenal dalam corak pesantren ini. Umumnya corak pesantren seperti ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman. Sarana fisik sebuah pesantren bisanya terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: di pusatnya ada sebuah masjid atau langgar yang dikelilingi bangunan tempat tinggal kyai, asrama untuk belajar serta ruangan-ruangan belajar.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan di pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Metode sorogan adalah suatu metode dimana para santri menghadap kyai seorang atau lebih dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kyai membacakannya dan menerjemahkannya kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan maksudnya. Santri menyimak bacaan kyai dan mengulanginya sampai memahaminya. Metode hafalan ialah metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau lagu, dengan cara ini memudahkan santri menghafal baik sedang belajar maupun pada saat berada diluar jam pelajaran. Kebiasaan menghafal dalam sistem pendidikan pesantren merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya. Hafalan ini tidak saja terbatas pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis tetapi juga isi teks kitab tertentu. Karena itu oleh sebagian kyai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus tetapi secara berangsur angsur.
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi guru-murid dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut:
1. kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak dihormati dan kadang dianggap memiliki kekuatan ghaib yang dapat memberikan berkah.
2. diperolehnya ilmu semata-mata bukan karena ketajaman akal, ketetapan metode mencarinya, dan kesunggguhan berusaha melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu dan berkah kyai serta upaya ritual keagamaan seperti.
3. kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak mengajar santri.
4. transmisi lisan para kiai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab sendiri, yang demikian ini masih belum di sebut ngaji.
Konsep pendidikan sebagaiman di atas, sangat efektif untuk membukukan kesadaran kritis dan mereduksi keterlibatan murid dalam merubah dunia. Disamping itu pendidikan model seperti ini juga mengurangi atau menghapuskan daya kreasi pada murid serta menumbuhkan sikap mudah percaya. Tentu saja hal yang demikian itu menguntungkan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Termasuk dalam konsep pendidikan seperti ini adalah anggapan akan adanya dikotomi antara manusia dan dunia, manusia semata-mata ada dalam dunia bukan bersama dunia atau orang lain, manusia adalah penonton bukan pencipta.
Pandangan tersebut kemudian membawa guru dalam anggapan bahwa murid adalah obyek yang tak berkesadaran, senantiasa pasif dan menerima apa saja yang diberikan oleh guru. Seorang guru dalam pendidikan seperti ini, terkadangtidak sadar bahwa ia telah dan sedang bekerja untuk tujuan dehumanisasi. Ia juga tidak memahami bahwapengetahuan yang ditanamkannya kepada murid berisi kontradiksi dengan realitas.
Dari segi kepemimpinan secara kukuh pesantren masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkhis yang berpusat pada satu orang kyai. Maka, dalam perkembangan selanjutnya figure sang kyai sangat menentukan hitam putihnya pesantren. Pola semacam ini tak pelak lagi melahirkan implikasi manajemen yang otoritarianistik. Pembahasan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena tergantung pada sikap sang kyai.
Bentuk pesantren yang hanya mendasarkan pendidikannya pada kurikulum salafy dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan terhadap figur sang kyai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan zaman yang senantiasa melaju dengan cepat. Pesantren dalam bentuk ini hidup matinya sangat tergantung pada kebesaran kyainya, artinya kalau di poesantren tersebut masih ada kyai yang mumpuni dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut masih tetap eksis. Tetapi sebaliknya jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kyainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan maka secara berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh para santrinya.
Pada awal abad ke-20 terjadi gerakan pembaharuan islam di Indonesia, menurut Karel A. Steenbrink ada empat factor yang mendorong gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20, yaitu: 1) Faktor keinginan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan hadis. 2) Faaktor semangat nasionalisme untuk melawan penjajah. 3) Fakktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. 4) Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan nasional justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda. Namun pada perkembangannya tantangan yang lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya terhadap modernisasi ini justru dating dari kaum reformis atau modernis muslim. Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini, adalah organisasi-organisasi modernis islam seperti muhammadiyah, Al-Irsyad, jami'at khair dan lain-lain. Mereka bearpendapat bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme diperlukan reformasi sistem pendidikan islam.
Meskipun sistem pendidikan di pesantren pada awalanya bercorak tradisional, dalam perkembangannya ia lebih bersifat dinamis, adaptif, emansipatif, dan responsive terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. Agaknya pesantren tidak membiarkan dirinya dalam ketradisionalan yang berkepanjangan, baik secara langsung maupun tidak langsung ke dalam sistem pendidikannya. Melihat dinamika ini, pesantren dalam bentuknya yang sudah terpoles oleh nilai-nilai baru itu tidak menampakkan karakteristiknya yang asli, seperti masa awal perkembangannya. Maka akhir-akhir ini sulit menemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak, yaitu petama, pesantren tradisional, kedua, pesantren transisional, ketiga, pesantren modern.
Pendidikan pesantren dalam bentuknya yang asimilatif telah mengalami transformasi yang sangat signnifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya, misalnya, sepenuhnya menganut sistem modern. Pesantren sudah diatur atau dikelola dengan manajemen dan administrasi yang rapi. Pendidikan secara klasikal sudah diterapkandan ketrampilan atau keahlian pun dijadikan sebagai pokok kajian. Pengembangan minat dan bakat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum. Penguasaan bahasa asing (bahasa arab dan inggris), terutama percakapan sangat ditekankan.
Modernisasi pesantren yang menemukan momentumnya sejak akhir 1970-an telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pesantren. Dalam waktu-waktu terakhir banyak pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Depag, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum dan universitas umum.
Sesuai dengan tuntutan organisatoris yang beraneka ragam dan sering pula sesuai dengan nilai-nilai agama dan juga karena penggunaan metode pendidikan modern, pesantren berkembang mirip dengan kampus yang memiliki pendidikan yang khusus. Memang komponen-komponen ini merupakan bagian dari pesantren tetapi tetap berdiri sendiri dan merupakan unit pendidikan formal yang sistem pendidikannya disesuaikan dengan sekolah negeri.
Modernisasi bagi kaum santri di atas merupakan perluasan dari gerakan pembaharuan islam yang meluas ke nusantara melalui orang-orang yang pergi haji pada awal abad ke-19. di kawasan ini gerakan pembaharuan Islam telah mendorong kelahiran berbagai organisasi Islam antara lain: Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad dan Persis. Salah satu bentuk pembaharuan terpenting adalah modernisasi pendidikan bagi pemeluk islam dan kaum santri.
Ciri khas yang tetap dilestarikan di pesantren adalah materi pelajaran dan metodenya, yang cenderung merujuk pada kitab-kitab klsasik atau seperti yang yelah disebutkan di atas sebagai kitab kuning. Demikian juga motivasi belajar para santri yang lebih kepada tafaquh fiddin. Dalam sistem pengajarannya tidak disisipkan sama sekali pelajaran umum atau tidak keluar dari jalur madzhab tertentu. Para santri biasanya mengkaji kitab secara kontinu, dari awal sampai tamat, dibawah bimbingan ustadz atau kyai. Bahkan metodenya sangat monoton, dengan fassilitas yang sangat sederhana. Begitu pula aktifitas spiritual atau sufistiknya masih menonjol. Tidak ada inovasi yang fenomenal dalam corak pesantren ini. Umumnya corak pesantren seperti ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman. Sarana fisik sebuah pesantren bisanya terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: di pusatnya ada sebuah masjid atau langgar yang dikelilingi bangunan tempat tinggal kyai, asrama untuk belajar serta ruangan-ruangan belajar.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan di pesantren adalah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Metode sorogan adalah suatu metode dimana para santri menghadap kyai seorang atau lebih dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kyai membacakannya dan menerjemahkannya kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan maksudnya. Santri menyimak bacaan kyai dan mengulanginya sampai memahaminya. Metode hafalan ialah metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau lagu, dengan cara ini memudahkan santri menghafal baik sedang belajar maupun pada saat berada diluar jam pelajaran. Kebiasaan menghafal dalam sistem pendidikan pesantren merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya. Hafalan ini tidak saja terbatas pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis tetapi juga isi teks kitab tertentu. Karena itu oleh sebagian kyai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus tetapi secara berangsur angsur.
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi guru-murid dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut:
1. kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak dihormati dan kadang dianggap memiliki kekuatan ghaib yang dapat memberikan berkah.
2. diperolehnya ilmu semata-mata bukan karena ketajaman akal, ketetapan metode mencarinya, dan kesunggguhan berusaha melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu dan berkah kyai serta upaya ritual keagamaan seperti.
3. kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak mengajar santri.
4. transmisi lisan para kiai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab sendiri, yang demikian ini masih belum di sebut ngaji.
Konsep pendidikan sebagaiman di atas, sangat efektif untuk membukukan kesadaran kritis dan mereduksi keterlibatan murid dalam merubah dunia. Disamping itu pendidikan model seperti ini juga mengurangi atau menghapuskan daya kreasi pada murid serta menumbuhkan sikap mudah percaya. Tentu saja hal yang demikian itu menguntungkan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Termasuk dalam konsep pendidikan seperti ini adalah anggapan akan adanya dikotomi antara manusia dan dunia, manusia semata-mata ada dalam dunia bukan bersama dunia atau orang lain, manusia adalah penonton bukan pencipta.
Pandangan tersebut kemudian membawa guru dalam anggapan bahwa murid adalah obyek yang tak berkesadaran, senantiasa pasif dan menerima apa saja yang diberikan oleh guru. Seorang guru dalam pendidikan seperti ini, terkadangtidak sadar bahwa ia telah dan sedang bekerja untuk tujuan dehumanisasi. Ia juga tidak memahami bahwapengetahuan yang ditanamkannya kepada murid berisi kontradiksi dengan realitas.
Dari segi kepemimpinan secara kukuh pesantren masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkhis yang berpusat pada satu orang kyai. Maka, dalam perkembangan selanjutnya figure sang kyai sangat menentukan hitam putihnya pesantren. Pola semacam ini tak pelak lagi melahirkan implikasi manajemen yang otoritarianistik. Pembahasan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena tergantung pada sikap sang kyai.
Bentuk pesantren yang hanya mendasarkan pendidikannya pada kurikulum salafy dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan terhadap figur sang kyai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan zaman yang senantiasa melaju dengan cepat. Pesantren dalam bentuk ini hidup matinya sangat tergantung pada kebesaran kyainya, artinya kalau di poesantren tersebut masih ada kyai yang mumpuni dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut masih tetap eksis. Tetapi sebaliknya jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kyainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan maka secara berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh para santrinya.
Pada awal abad ke-20 terjadi gerakan pembaharuan islam di Indonesia, menurut Karel A. Steenbrink ada empat factor yang mendorong gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20, yaitu: 1) Faktor keinginan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan hadis. 2) Faaktor semangat nasionalisme untuk melawan penjajah. 3) Fakktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. 4) Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan nasional justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda. Namun pada perkembangannya tantangan yang lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya terhadap modernisasi ini justru dating dari kaum reformis atau modernis muslim. Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini, adalah organisasi-organisasi modernis islam seperti muhammadiyah, Al-Irsyad, jami'at khair dan lain-lain. Mereka bearpendapat bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme diperlukan reformasi sistem pendidikan islam.
Meskipun sistem pendidikan di pesantren pada awalanya bercorak tradisional, dalam perkembangannya ia lebih bersifat dinamis, adaptif, emansipatif, dan responsive terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. Agaknya pesantren tidak membiarkan dirinya dalam ketradisionalan yang berkepanjangan, baik secara langsung maupun tidak langsung ke dalam sistem pendidikannya. Melihat dinamika ini, pesantren dalam bentuknya yang sudah terpoles oleh nilai-nilai baru itu tidak menampakkan karakteristiknya yang asli, seperti masa awal perkembangannya. Maka akhir-akhir ini sulit menemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak, yaitu petama, pesantren tradisional, kedua, pesantren transisional, ketiga, pesantren modern.
Pendidikan pesantren dalam bentuknya yang asimilatif telah mengalami transformasi yang sangat signnifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya, misalnya, sepenuhnya menganut sistem modern. Pesantren sudah diatur atau dikelola dengan manajemen dan administrasi yang rapi. Pendidikan secara klasikal sudah diterapkandan ketrampilan atau keahlian pun dijadikan sebagai pokok kajian. Pengembangan minat dan bakat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum. Penguasaan bahasa asing (bahasa arab dan inggris), terutama percakapan sangat ditekankan.
Modernisasi pesantren yang menemukan momentumnya sejak akhir 1970-an telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pesantren. Dalam waktu-waktu terakhir banyak pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Depag, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum dan universitas umum.
Sesuai dengan tuntutan organisatoris yang beraneka ragam dan sering pula sesuai dengan nilai-nilai agama dan juga karena penggunaan metode pendidikan modern, pesantren berkembang mirip dengan kampus yang memiliki pendidikan yang khusus. Memang komponen-komponen ini merupakan bagian dari pesantren tetapi tetap berdiri sendiri dan merupakan unit pendidikan formal yang sistem pendidikannya disesuaikan dengan sekolah negeri.
Modernisasi bagi kaum santri di atas merupakan perluasan dari gerakan pembaharuan islam yang meluas ke nusantara melalui orang-orang yang pergi haji pada awal abad ke-19. di kawasan ini gerakan pembaharuan Islam telah mendorong kelahiran berbagai organisasi Islam antara lain: Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad dan Persis. Salah satu bentuk pembaharuan terpenting adalah modernisasi pendidikan bagi pemeluk islam dan kaum santri.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Basri, Pesantren: Karakteristik dan unsur-unsur kelembagaan
Dr. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial
Martin Van Bruinessen, Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam Di Indonesia.
Mastuhu, Dinamika Pesantren.
Nurcholis Madjid, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah.
Ridwan Abawihda, Dinamika Pesantren dan Madrasah
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern.
Dr. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial
Martin Van Bruinessen, Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam Di Indonesia.
Mastuhu, Dinamika Pesantren.
Nurcholis Madjid, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah.
Ridwan Abawihda, Dinamika Pesantren dan Madrasah
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern.
0 komentar:
Posting Komentar